Maksudnya, kita beriman bahwa
Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan
yang telah
dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang
tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya.
Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman
Allah:
“Dialah Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul
husna (nama-nama yang baik).”(QS TOHA 20:8)
Demikian, tiada yang dapat
menyamai adanya Allah ta’ala :
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia
menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis
binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak
dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang
Maha Mendengar dan Melihat.”(QS As Syuura 42:11)
”Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang
masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Hadid
57: 4).
Demikian halnya dengan beberapa
dalil diatas, maka jelaslah (Shidiq) sudah, kalaulah “DIA” (Allah Ta’ala)
selalu bersama kita dimanapun kita berada. Maksudnya adalah kita bersama
dengan-Nya dalam kontek Qodrat dan iradat-Nya. Bukankah kalau di telaah dalam
Sifat Wajib_Nya yang 20 (Dua puluh), terdapat banyak Sifat yang berpasang –
pasangan.
QODRAT
|
:KUASA
|
|
QODIRAN
|
:YANG BERKUASA
|
|
IRADAT
|
:KEHENDAK
|
|
MURIDAN
|
: YANG BERKEHENDAK
|
|
ILMU
|
: TAHU
|
|
‘ALIMAN
|
: YANG MENGETAHUI
|
|
HAYAT
|
: HIDUP
|
|
HAYYAN
|
: YANG HIDUP
|
|
SAMA
|
: MENDENGAR
|
|
SAMI’AN
|
: YANG MENDENGAR
|
|
BASAR
|
: MELIHAT
|
|
BASIRAN
|
: YANG MELIHAT
|
|
KALAM
|
: BICARA
|
|
MUTAKALLIMAN
|
: YANG BICARA
|
Demikian Jelas (Shidiq) menurut
sifat-sifat-Nya, kalaulah kita ini hidup, tapi jelas ada yang menghidupkan,
kita ini bergerak, tapi ada yang menggerakan, kita ini mendengar, tapi ada yang
mendengarkan, dan sebagainya. Dan semua merupakan kehendak dari_Nya. Kita
hanyalah sebuah wayang, yang hidup dan dihidupkan bapak dalang_Nya. Semua itu
haruslah kita sadari, dan kita dituntut untuk tahu agar kita dapat merasakan
sendiri dari kebenaran ini, sehingga suatu saat kita mampu untuk “ASYHADU” dan
bukan katanya lagi.
"Dengan-Ku
dia mendengar, dengan-Ku dia melihat, dengan-Ku dia memukul, dengan-Ku dia
berjalan." (Jami Ulum wal Hikam, 2/347)
Syekh Ibnu Utsaimin berkata dalam
Majmu Fatawanya (1/145), "Anda dapat saksikan bahwa Allah Ta'ala telah
menyebutkan adanya yang menyembah dan yang disembah, yang beribadah dan
diibadahi, pencinta dan yang dicinta, yang meminta dan yang diminta, yang
memberi dan yang diberi, yang memohon perlindungan dengan yang memberikan
perlindungan. Hadits ini menunjukkan ada dua pihak yang berbeda, yang satu
bukan yang lain. Jika demikian halnya, maka zahir sabda beliau, "Aku
adalah pendengarannya dan penglihatannya, tangannya dan kakinya." Tidak
menunjukkan bahwa sang pencipta adalah bagian dari makhluk, atau bagian dari
sifatnya, maha suci Allah dari yang demikian itu. Akan tetapi, hakekat yang
tampak dari hadits tersebut adalah bahwa Allah Ta'ala mengarahkan seorang hamba
dalam pendengaran dan penglihatan dan pukulannya. Maka pendengarannya karena
Allah Ta'ala dengan ikhlas dan memohon pertolongan kepada-Nya, mengikuti
syariat dan ajarannya, demikian pula dengan penglihatannya dan jalannya.".
Bagaimana caranya kita mengenal Dzat Allah? Dimana? Kemana kita harus mencari Dzat Allah? Apakah harus ke Mekkah ataukah ke negeri Cina? Apakah sedemikian jauhnya Dzat Allah itu berada?
Bagi umat Islam sebagai bahan rujukannya adalah Al Qur’an dan hadits qudsy serta hadist Rosulullah SAW.
Alif = Hakikatnya
Cahaya Merah
Lam (Awwal ) =
Hakikatnya Cahaya Kuning
Lam (Akhir) =
Hakikatnya Cahaya Putih
Ha = Hakikatnya
Cahaya Hitam
Tasydid =
Hakikatnya Johar Awwal
Cahaya yang tersebut di atas
disebut dengan “ISMU DZAT” atau Asmanya Dzat, dan menurut ahli dzikir
disebut dengan “LATIFAH”. Itulah tempat kembalinya kita semua, maka
wajib hukumnya untuk diketahui oleh kita sejak dini.
Maka carilah tarekat yang bisa
membukakan hijab atau penutup yang menyelubungi Dzat dan Sifat-Nya Allah
Ta’ala, demikian juga hakikat dari Tasydid lafad Muhammad yang terdapat dalam
diri ini. Karena itulah merupakan kunci untuk membuka hijab yang menyelubungi
Dzat dan Sifat-Nya Allah Ta’ala, sehingga kita dapat menemukan-Nya, untuk dapat
memenuhi kriteria ,
yaitu : “Kembalinya Rasa Jasmani yang sekarang sedang dipakai, kepada
Rasa Ruhani dimana kita berada dalam “NURULLAH” (Johar Awwal)”. Sedang
Kembali lagi Ke Asal yaitu : “Kembalinya Jasmani ke asalnya lagi yaitu menjadi
Nur Muhammad atau kembali ke Cahaya yang 4 (empat) Jenis yang disebut juga
intisari bumi / adam. Dan sewaktu waktu kita bisa kembali ke asal, maka kita
bisa sempurna, artinya habis, bersih rasanya, sempurna jasmani dan rohaninya.
MENGENAL DZAT ALLAH TA’ALA
Bagaimana caranya kita mengenal Dzat Allah? Dimana? Kemana kita harus mencari Dzat Allah? Apakah harus ke Mekkah ataukah ke negeri Cina? Apakah sedemikian jauhnya Dzat Allah itu berada?
Bagi umat Islam sebagai bahan rujukannya adalah Al Qur’an dan hadits qudsy serta hadist Rosulullah SAW.
“Barang siapa
mencari tuhan-Nya keluar dari dirinya sendiri, Maka jelas – jelas telah
tersesat, tersesat yang sangatjauh.”
Karena sesungguhnya “DIA” adalah dekat :
“Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya,
dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
(AL Qaf 50 :
16).”
“Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran .
(al-Baqarah
2:186).
“Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?”
(QS: Fushshilat
Ayat: 53)
“Ingatlah bahwa
sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan
mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
(QS: Fushshilat
Ayat: 54)
”Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kamu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
(QS
At-Taubah 9:128)
“dan (juga) pada
dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS Ad
Dzaritat 51:21)
“Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya
kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
(QS Al
Anfaal 8:24)
“sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .”
(QS At Tien 95:4).
“Siapa yang
mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya”
“Barang siapa
mengenal dirinya sendiri, maka ia akan mengenal tuhannya, dan barang siapa yang
mengenal tuhannya, maka lidahnya akan kelu.”
Keterangan ulama mengenai
hadits di atas, yaitu :
Ditanyai Ibnu Hajar al-Haitamy
r.a. mengenai hadits ini : Siapakah yang meriwayatnya?. Beliau Ibnu Hajar
al-Haitamy r.a, menjawab dengan perkataannya: “Hadits tersebut tidak ada asal
baginya. Perkataan tersebut hanya dihikayah dari perkataan Yahya bin Mu’az
al-Razy, seorang sufi. Maknanya adalah barang siapa yang mengenal dirinya
dengan sifat lemah, membutuhkan, lalai, hina dan tidak tercapai maksud, maka
akan mengenal tuhannya dengan sifat-sifat jalal dan jamal atas yang patut bagi
kedua sifat itu, maka seorang hamba selalu melakukan muraqabah sehingga
dibukakan kepadanya pintu musyahadahnya. (Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa
al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 206)
Didalam al-Fatawa an-Nawawi
disebutkan :
Apakah hadits ini tsabit atau
tidak ? dan apa maknanya?”. Jawab : “Hadits itu tidak tsabit. Seandaipun
tsabit, maknanya adalah barang siapa yang mengenal dirinya dengan sifat dha’if,
berhajad kepada Allah Ta’ala dan ber’ubudiyah kepada-Nya, maka akan mengenal
tuhannya dengan sifat Kuasa, Perkasa, Rububiyah, Sempurna Mutlaq dan
sifat-sifat yang tinggi. Dan barang siapa yang mengenal tuhan dengan demikian,
maka kelu lidahnya dari sampai kepada hakikat syukur dan puji kepada tuhannya,
sebagaimana tersebut dalam hadits Shahih Muslim dan lainnya, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda : “Maha Suci Engkau Ya Allah, tidak dapat aku hitung
pujian atas-Mu sebagaimana pujian-Mu atas diri-Mu”. ( An-Nawawi, al-Fatawa,
Hal. 136.)
Dalam mencari, mengenal adanya
Dzat Allah, kita juga diberi petunjuk oleh Al-Qur’an , agar kita membaca kitab,
bukan sekedar kitab yang sifatnya dapat rusak (Fana), karena Allah Ta’ala
telahpun memberikan petunjuk lewat kitab yang langgeng adanya, sebagaimana Ayat
dibawah ini :
"Bacalah
kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab
terhadapmu".
(QS Al-Isra’ 17:14).
Karena dengan kitab yang terdapat
dalam diri kita, kita bisa langsung merasakan Qudrat dan Iradat-Nya Allah
Ta’ala. Kita bisa merasakan dengan jelas dan nyata akan Dzat-Nya yang
bersemayam dalam diri kita.
Mengenal Allah ada 4 (empat) cara
yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah,
dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Keempat cara ini telah disebutkan
Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.
Ibnul Qoyyim dalam kitab Al
Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di
dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah
dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran
Allah seperti dalam firman-Nya:
“SeSngguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda
kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.”
(QS. Ali Imran 3:
190)
Ma’rifat kepada Allah Ta’ala
adalah wajib hukumnya bagi setiap manusia yang Mukallaf. ( Mukallaf ialah orang
yang berakal sehat dan telah baligh / telah berumur lima belas tahun atau telah
mengeluarkan darah putih (air mani) meskipun dengan cara bermimpi bagi pria.
Dan bagi wanita apabila telah berumur sembilan tahun, telah mengeluarkan darah
haid atau telah mengeluarkan air mani, baik dengan cara persetubuhan suami
istri atau dengan cara bermimpi.)
Sebagaimana Sabda Rosulullah
SAW :
AWWALUD DIINI
MA’RIFATULLAHI TA’ALA
Maksudnya : Awalnya
Agama Adalah Mengetahui akan Allah Ta’ala
Sebabnya kita harus mengenal
Allah Ta’ala terlebih dahulu dalam agama adalah, agar manusia dalam menjalankan
ibadahnya dapat diterima oleh Allah Ta’ala.
Demikian halnya, maka amaliah
haruslah beserta ilmunya, karena amaliah yang tidak diserati ilmunya adalah
sia-sia belaka, dan tidak akan bermanfaat untuk bekal di akhirat, mungkin hanya
bisa bermanfaat tatkala kita didunia saja.
- Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang beramal tidak mengikuti perintah kami (sesuai Ilmunya), maka akan ditolak." (HR Muslim)
- Imam Syafii berkata, "Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya akan ditolak sia-sia." (Matan Zubad, juz I, hlm 2, Majallatul buhuts al-Islamiyah, juz 42, hlm 279).
- Dalam kitab Zubad karangan Ibn Ruslan dikatakan:wa kullu man bi ghairi ilmin ya'malu // a'maluhu mardudatun la tuqbalu.
- Setiap orang yang mengamalkan sesuatu tanpa ilmu // maka amalnya ditolak, tidak diterima. Itu namanya amal-amalan, bukan amal yang sesungguhnya.
Tapi dalam masalah ilmu, kita
harus waspada dan hati-hati, jangan sampai kita keliru. Dan Ilmu sendiri adalah
: “PENGETAHUAN”. Tapi bukan hanya kita harus tahu tentang hukum-hukum syara’
saja yang menjelaskan sah dan batalnya ibadah, tapi kita wajib mengetahui
(MA’RIFAT) pula kepada Allah Ta’ala, dan Rosulullah. Sebab itu adalah
diibaratkan sebuah tempat untuk menyimpan semua amal ibadah kita semua,
sehingga tidak sampai tercecer.
Sebagai perumpamaan kita hidup
dalam keseharian di dunia ini, setiap saat kita mengumpulkan barang-barang
kebutuhan rumah kita baik untuk kebutuhan dan bahkan mempercantiknya, seperti
meja, kursi, almari, dan sebagainya. Demikian halnya Ma’rifat kepada Allah
Ta’ala, bagaikan kita memiliki rumah yang kokoh dan besar, dan amaliah di
ibaratkan dengan barang barang yang kita kumpulkan dengan jerih payah kita,
agar ianya bisa disimpan, ditempatkan pada tempat yang layak, agar kita bisa
kerasan dalam menempati rumah kita tersebut.
Berbeda dengan kalau kita tidak
memiliki rumah (tempatnya), sekalipun kita banyak memiliki barang-barang bagus,
berkwalitas, dan mahal, tapi kita tidak memiliki tempat untuk menyimpannya. Dan
tak mungkin kita menyimpan barang-barang yang kita miliki di halaman terbuka,
atau di manapun, sehingga kitapun tidak akan nyaman menempati tempat kita
tersebut. Demikan halnya barang barang tersebut pasti cepat rusak, lapuk
dimakan hujan dan panas, sehingga kita tidak dapat menikmati hasil jerih payah
kita tersebut.
Apalagi kita berkehendak membawa
semua amliah kita untuk bekal nanti di Akhirat, maka lebih wajib bagi kita
untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala, sebab itu akan digunakan kita untuk tempat
amaliah kita nantinya.
Umpama ini tidaklah kita ketahui
sejak dini, maka akankah kita mampu kembali ke asal kita nantinya?? Karena
tatkala Sakaratul Maut datang, tak ada lagi tempat pertanyaan, dan Akliah kita
hanya mampu merespon rasa sakit yang begitu dahsyat tatkala sakaratul maut
datang.
- Dalam Al-Quran Allah Ta’ala berfirman tentang saat-saat terakhir kehidupan ini, “Dan tidaklah tobat diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, ia mengatakan, `Sesungguhnya saya bertobat sekarang ….’.” (Qs an-Nisa’ [41: 18)
- Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits, “Taubat seorang hamba tidak akan diterima ketika ia telah mencapai ajal.”
- Siti Aisyah Ra berkata, “Aku tak percaya bahwa rasa sakit saat ajal seseorang yang lain lebih ringan daripada rasa sakit saat kematian Rasulullah seperti yang ku-saksikan.” Rasulullah Saw berdoa, “Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengambil nyawa dari ruas, sendi, tulang-belulang bahkan dari ujung jari. Ya Allah Tuhanku, mudahkanlah kematian itu untukku.” Beliau bersabda sesaat menjelang ajalnya, “Rasa sakit saat kematian datang ibarat ditetak dengan 300 mata pedang.”
- Firman Allah SWT: “Oleh itu, bukankah ada baiknya mereka mengembara di muka bumi supaya – dengan melihat kesan-kesan yang tersebut – mereka menjadi orang-orang yang ada hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau ada telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? (Tetapi kalaulah mereka mengembara pun tidak juga berguna) kerana keadaan yang sebenarnya bukanlah mata kepala yang buta, tetapi yang buta itu ialah mata hati yang ada di dalam dada” (al-Hajj:46)
- Allah berfirman: “Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni neraka dari golongan jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak menggunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat, mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak , bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang alpa (tidak berzikir)” (Al-A’raf:17 ) “
- Allah berfirman: “Sesiapa yang buta di dunia buta juga di akhirat”.(Surah Bani Israil, ayat 72).
Inilah yang menjadi masalah
kepada hati manusia tatkala hatinya sudah menjadi buta. Tidak berfungsi
sebagaimana sepatutnya. Demikian, umpama kita buta kepada Allah Ta’ala dan
Rosulullah waktu di dunia, maka di akhirat pun ia tetap akan buta. Dan semasa
di akhirat dengan keadaan buta, mampukah kita membawa amaliah kita yang begitu
banyak?? Dan akan dibawa kemana semua amaliah kita tersebut ??.
Karena kita tidak mampu kembali
kepada Allah tempat kembalinya kita semua, maka amaliah kita akan kita
bawa-bawa kemanapun kita bawa, sehingga mungkin suatu saat kita tersesat ke
alam-alam siluman, dan amaliah bawaan kita akan dijadikan kekayaan di alamnya,
serta kita sendiri akan dijadikan budaknya.
Oleh sesab itu, selagi kita masih
hidup di dunia mari kita ikhtiyar untuk bisa Ma’rifat kepada Allah Ta’ala, kita
harus sedia payung sebelum hujan (Pribahasa), maksudnya adalah kita harus bisa
bepergian ke hari kemudian, atau mati sebeum mati, sebab tanpa kita mati kita
tak akan mampu tahu tentang alam akhirat, dan untuk tahu alam akhirat, maka
kita harus bisa belajar mati sebelum kita mati.
ANTAL MAUTU – QOBLAL
MAUTU
“Matilah kamu sebelum
kamu Mati”
” Wahai manusia !
Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk
bertemu dengan Tuhanmu, sampai kamu bertemu dengan-Nya “.( QS Al Insyiqoq 84 :
6 )
Dengan demikian, Alam Akhirat atau
asal muasal kita adalah harus kita ketahui sejak sekarang sewaktu kita masih di
alam dunia, agar nanti kita tidak tersesat jalan waktu kita di panggil pulang
ke Khadirat-Nya.
Wahai yang tidak aku
kenali
Ku panjat gunung yang
tinggi
Sangkaku ENGKAU
berada di puncaknya
Namun tidak ku temui
ENGKAU di sana
Lalu aku terjun dari
puncak gunung
Jika Engkau ada
Pasti ENGKAU tidak
membiarkan daku.
Tangan Kudrat
Iradat-MU menyambar ku
Aku terbang
dengan sayap Rahmani-MU
Mengembara ke
seluruh alam maya
Namun tidak ku
temui ENGKAU di dalam alam
Hatiku
mengatakan
ENGKAU ada
Lalu aku keluar
daripada alam
Dan aku terjun
ke dalam hatiku
Di sana aku
temui kebodohanku
Bodohnya aku
menyangka
akulah Aku
Sedangkan DIA
jualah Aku
Dan aku tiada
beserta DIA
Bila aku tiada
beserta DIA
Tinggallah DIA
sendirian
Rindulah DIA
kepada diriku
Lalu Dia terjun
ke dalam hatinya
Di sana DIA
berjumpa Aku
Aku menyambutnya
dengan tersenyum
Aku dan
DIA
DIA dan Aku
Bukan dua dan bukan
Satu
Satu masih
berbentuk
Masih berjarak
titik atas dengan bawah
Sedangkan Aku
dan Dia tiada antara
Bukan juga
titik yang halus
Titik yang
halus masih menempati ruang
sedangkan Aku
dan Dia
Tiada rupa
tiada bentuk
tiada ruang
tiada
zaman
Aku adalah DIA
DIA adalah Aku
Tiada beda
antara Aku dan DIA
Bila aku cuba
mengenali DIA
Aku tidak kenal
lagi diriku
Aku tidak kenal
lagi diri DIA
Bila dia cuba
mengenali diriku
DIA tidak kenal
lagi dirinya
DIA tidak kenal lagi
diriku
Tiada lagi
kenyataan
Tiada juga
keghaiban
Pengenalan sebenar
adalah tidak kenal
Pengetahuan sebenar
adalah tidak tahu
Aku adalah rahsia
DIA
DIA adalah rahsia
Aku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar